Maafkan Aku Mencolek Pantatmu
(tao_ming_win@yahoo.com)
Suatu hari di sebuah toko buku….
“Eh, sorry”.
“Kurang ajar !. Kamu sengaja ya ! Mau curi – curi kesempatan ya !”.
“Enak aja. Siapa yang mau curi – curi kesempatan ?”.
“Buktinya kamu nyolek pantatku !”.
“Aku nggak nyolek. Aku mau ngambil buku itu tapi nggak sengaja kena pantatmu”.
“Alaaah alasan !. Muka seperti kamu emang muka – muka mesum”.
“Hei, jangan sembarangan ya kalo ngomong, tak sobek – sobek mulutmu nanti !!”.
“Emangnya kenapa, kamu mau pukul aku ?. Pukul kalo berani !. Udah nyolek masih mau mukul juga ?”.
“Dasar cerewet. Awas kamu… !”.
“E…e…e… ada apa ini, kok ribut – ribut ?”, seorang satpam datang.
“Dia nyolek pantat saya, pak satpam”.
“Bohong pak !. Saya nggak ada maksud, saya nggak sengaja”.
“Iya, tapi kan sama aja. Artinya tangan kamu sudah menyentuh pantatku !. Sama aja kan?”.
“Lain dong !. Saya kan nggak sengaja. Kalo disengaja, rasanya lebih nikmat. Kalo nggak disengaja, nggak kerasa apa – apa”, kata si pemuda
“Benar begitu anak muda ?”, tanya pak satpam kepada pemuda itu.
“Saya nggak bohong pak satpam. Coba deh bapak buktiin sendiri”.
Sesaat kemudian…
“Kok pak satpam ikut – ikutan nyolek pantat saya sih ?”.
“Eh… enggak… saya cuma mau buktiin, bener nggak omongan pemuda ini”.
“Gimana pak ?”, tanya si pemuda kemudian.
“Kamu betul anak muda. Rasanya memang lain”.
“Lho, bagaimana urusannya ini ?. Saya malah dua kali dicolek. Gimana sih ?”.
“Mbak, pemuda ini nggak salah, soalnya dia nggak sengaja, dan dia nggak merasakan nikmat apa – apa”.
“Berarti pak satpam dong yang salah ?”.
“O nggak bisa. Saya penegak hukum di sini. Saya nggak bisa disalahkan. Justru tugas saya mencari siapa yang salah untuk selanjutnya dihukum”.
“Tapi pak satpam tadi udah nyolek pantat saya”.
“Itu hanyalah cara saya untuk mencari pembuktian. Itu bukan kesalahan”.
“Terus gimana dong ?”.
“Begini saja. Kalian berdua berdamai saja. Mbak balas saja nyolek pantat mas ini”.
“Ah nggak mau. Pantatnya tepos”.
“Enak aja main balas. Aku nggak mau dicolek sama perempuan ini !”.
“Terus gimana dong ?”.
“Ask the audience1). Kita tanya pengunjung toko buku ini yang sedari tadi sudah melihat ribut – ribut ini. Gimana bapak – bapak, ibu – ibu?”.
“Setujuuu !”.
“Colek !”.
“Cium !”.
“Jambak !”.
“Tampar !”.
“Masukin penjara !”.
“Telanjangin !”.
“Bilangin ke ibunya !”.
“Pelecehan !”.
“Hidup emansipasi !”.
“Merdeka !”.
“Sunat !”.
“Campur sari !”.
“Astaghfirullah !”.
“Pak, bukunya dibayar dulu !”.
“Aku ra melu – melu lho !”.
“Stooooooooooopppp !!!”.
Suasana hening…
“Kalian apa – apaan sih ?. Dimintain pendapat malah ribut sendiri – sendiri !”.
“Kita nggak bisa pake cara ini pak satpam”, kta si pemuda.
“Lalu ?”.
“Phone a friend2)”.
“Ok, boleh kita coba. Anak muda, kamu mau telpon siapa?”.
“Kakek saya”.
“Kenapa ?”.
“Dulu dia juga pernah mengalami masalah seperti ini”.
“Ok. Mbak, mau nelpon siapa ?”.
“Komnas HAM”.
“Kenapa ?”.
“Saya sudah dirugikan”.
“Ok. Kita mulai. Kamu duluan anak muda. Waktu kamu 60 detik dari… sekarang”.
Sesaat kemudian…
“Hallo eyang, saya lagi ada masalah nih. Saya nggak sengaja nyolek pantat cewek, dan sekarang dia marah sama saya. Gimana dong, saya mesti gimana nih. Padahal saya kan nggak sengaja“.
“Ceweknya seksi nggak ?”.
“Ya, lumayan sih”.
“Kamu tadi nyolek yang sebelah kiri atau kanan ?”.
“Kayaknya sebelah kiri deh”.
“Kalo gitu, sekarang colek aja yang sebelah kanan, beres kan?”.
“Aduh, eyang gimana sih, kok malah begitu ?. Ya udah deh, makasih banget eyang”.
“Cukup, waktu habis !. Sekarang giliran mbak. Silahkan mbak, waktu anda 60 detik dari… sekarang”.
Sesaat kemudian…
“Gimana mbak…?”.
“Aduh, tulalit, telponnya lagi rusak”.
“Kalo gitu kita ke pilihan yang terakhir. Fifty fifty3)”.
“Apa pilihannya pak satpam ?”.
“Anak muda, kamu harus mau dicolek sama mbak ini atau… kalo nggak mau, kamu mesti masuk penjara !”.
“Apa ?!. Aku nggak mau !. Enak banget dia nyolek pantatku”.
“Aku juga nggak mau nyolek pantat dia. Pantatnya tepos. Nggak adil dong. Lihat nih pantatku, semok kan ?”.
“Ya udah, terserah kalian. Pilihannya cuma itu”.
“Ok lah. Nih, silahkan”, pemuda itu menyodorkan pantatnya.Sesaat kemudian…
“Pak satpam lihat tuh, dia menikmati nyolek pantatku”.
“Alaaah, kamu juga menikmati dicolek sama dia. Naaah, beres kan. Sekarang salaman, masalah sudah selesai”.
“Cium… cium… cium… !”.
“Sosor !”.
“Peluk !”.
“Gendong !”.
“Pangku !”.
“Geret !”.
“Pulangnya anterin !”.
“Minum es teh !”.
“Campur sari !”.
“Aku melu… aku melu !”.
“Alhamdulillah !”.“Mulih… mulih, acarane wis bar !”.
(tao_ming_win@yahoo.com)
Suatu hari di sebuah toko buku….
“Eh, sorry”.
“Kurang ajar !. Kamu sengaja ya ! Mau curi – curi kesempatan ya !”.
“Enak aja. Siapa yang mau curi – curi kesempatan ?”.
“Buktinya kamu nyolek pantatku !”.
“Aku nggak nyolek. Aku mau ngambil buku itu tapi nggak sengaja kena pantatmu”.
“Alaaah alasan !. Muka seperti kamu emang muka – muka mesum”.
“Hei, jangan sembarangan ya kalo ngomong, tak sobek – sobek mulutmu nanti !!”.
“Emangnya kenapa, kamu mau pukul aku ?. Pukul kalo berani !. Udah nyolek masih mau mukul juga ?”.
“Dasar cerewet. Awas kamu… !”.
“E…e…e… ada apa ini, kok ribut – ribut ?”, seorang satpam datang.
“Dia nyolek pantat saya, pak satpam”.
“Bohong pak !. Saya nggak ada maksud, saya nggak sengaja”.
“Iya, tapi kan sama aja. Artinya tangan kamu sudah menyentuh pantatku !. Sama aja kan?”.
“Lain dong !. Saya kan nggak sengaja. Kalo disengaja, rasanya lebih nikmat. Kalo nggak disengaja, nggak kerasa apa – apa”, kata si pemuda
“Benar begitu anak muda ?”, tanya pak satpam kepada pemuda itu.
“Saya nggak bohong pak satpam. Coba deh bapak buktiin sendiri”.
Sesaat kemudian…
“Kok pak satpam ikut – ikutan nyolek pantat saya sih ?”.
“Eh… enggak… saya cuma mau buktiin, bener nggak omongan pemuda ini”.
“Gimana pak ?”, tanya si pemuda kemudian.
“Kamu betul anak muda. Rasanya memang lain”.
“Lho, bagaimana urusannya ini ?. Saya malah dua kali dicolek. Gimana sih ?”.
“Mbak, pemuda ini nggak salah, soalnya dia nggak sengaja, dan dia nggak merasakan nikmat apa – apa”.
“Berarti pak satpam dong yang salah ?”.
“O nggak bisa. Saya penegak hukum di sini. Saya nggak bisa disalahkan. Justru tugas saya mencari siapa yang salah untuk selanjutnya dihukum”.
“Tapi pak satpam tadi udah nyolek pantat saya”.
“Itu hanyalah cara saya untuk mencari pembuktian. Itu bukan kesalahan”.
“Terus gimana dong ?”.
“Begini saja. Kalian berdua berdamai saja. Mbak balas saja nyolek pantat mas ini”.
“Ah nggak mau. Pantatnya tepos”.
“Enak aja main balas. Aku nggak mau dicolek sama perempuan ini !”.
“Terus gimana dong ?”.
“Ask the audience1). Kita tanya pengunjung toko buku ini yang sedari tadi sudah melihat ribut – ribut ini. Gimana bapak – bapak, ibu – ibu?”.
“Setujuuu !”.
“Colek !”.
“Cium !”.
“Jambak !”.
“Tampar !”.
“Masukin penjara !”.
“Telanjangin !”.
“Bilangin ke ibunya !”.
“Pelecehan !”.
“Hidup emansipasi !”.
“Merdeka !”.
“Sunat !”.
“Campur sari !”.
“Astaghfirullah !”.
“Pak, bukunya dibayar dulu !”.
“Aku ra melu – melu lho !”.
“Stooooooooooopppp !!!”.
Suasana hening…
“Kalian apa – apaan sih ?. Dimintain pendapat malah ribut sendiri – sendiri !”.
“Kita nggak bisa pake cara ini pak satpam”, kta si pemuda.
“Lalu ?”.
“Phone a friend2)”.
“Ok, boleh kita coba. Anak muda, kamu mau telpon siapa?”.
“Kakek saya”.
“Kenapa ?”.
“Dulu dia juga pernah mengalami masalah seperti ini”.
“Ok. Mbak, mau nelpon siapa ?”.
“Komnas HAM”.
“Kenapa ?”.
“Saya sudah dirugikan”.
“Ok. Kita mulai. Kamu duluan anak muda. Waktu kamu 60 detik dari… sekarang”.
Sesaat kemudian…
“Hallo eyang, saya lagi ada masalah nih. Saya nggak sengaja nyolek pantat cewek, dan sekarang dia marah sama saya. Gimana dong, saya mesti gimana nih. Padahal saya kan nggak sengaja“.
“Ceweknya seksi nggak ?”.
“Ya, lumayan sih”.
“Kamu tadi nyolek yang sebelah kiri atau kanan ?”.
“Kayaknya sebelah kiri deh”.
“Kalo gitu, sekarang colek aja yang sebelah kanan, beres kan?”.
“Aduh, eyang gimana sih, kok malah begitu ?. Ya udah deh, makasih banget eyang”.
“Cukup, waktu habis !. Sekarang giliran mbak. Silahkan mbak, waktu anda 60 detik dari… sekarang”.
Sesaat kemudian…
“Gimana mbak…?”.
“Aduh, tulalit, telponnya lagi rusak”.
“Kalo gitu kita ke pilihan yang terakhir. Fifty fifty3)”.
“Apa pilihannya pak satpam ?”.
“Anak muda, kamu harus mau dicolek sama mbak ini atau… kalo nggak mau, kamu mesti masuk penjara !”.
“Apa ?!. Aku nggak mau !. Enak banget dia nyolek pantatku”.
“Aku juga nggak mau nyolek pantat dia. Pantatnya tepos. Nggak adil dong. Lihat nih pantatku, semok kan ?”.
“Ya udah, terserah kalian. Pilihannya cuma itu”.
“Ok lah. Nih, silahkan”, pemuda itu menyodorkan pantatnya.Sesaat kemudian…
“Pak satpam lihat tuh, dia menikmati nyolek pantatku”.
“Alaaah, kamu juga menikmati dicolek sama dia. Naaah, beres kan. Sekarang salaman, masalah sudah selesai”.
“Cium… cium… cium… !”.
“Sosor !”.
“Peluk !”.
“Gendong !”.
“Pangku !”.
“Geret !”.
“Pulangnya anterin !”.
“Minum es teh !”.
“Campur sari !”.
“Aku melu… aku melu !”.
“Alhamdulillah !”.“Mulih… mulih, acarane wis bar !”.
Selesai
Dimuat di harian SOLOPOS pada edisi Minggu, 25 Juli 2004 dengan judul “Aku Nggak Sengaja."
1 komentar:
ayooooo....silahkan nikmati novel karya penulis novel....woke....
Posting Komentar