Rabu, Desember 19
Senin, November 5
Waterfall Hunter
Selasa, Oktober 9
Berbagi to Keep The World Around
Selamat Idul Fitri
Kamis, Oktober 4
Interpretasi Melalui Media Online
Rabu, September 19
CMS, Gawat atau Nikmat
Kamis, September 13
Selamat Berpuasa
Don't Be Evil
Tolak PLTN
Rabu, September 12
Attribute
Jumat, September 7
Ndeso Yo Ben (Kangen Band)
A'a Gym's Pledoi
Sabtu, September 1
Yah Ternyata !!
Rabu, Agustus 29
Selamat yo Chan !!
Big Bertha
BiNus 20/20
Oleh - oleh dari Jakarta
Selasa, Agustus 14
Celah Kyber van Tembalang
Kamis, Agustus 9
Transparansi Pakem Film
Dalam sebuah film yang diangkat dari cerita dalam bentuk media yang lain seperti komik, film kartun yang kemudian diangkat ke layar lebar sering terdengar istilah Pakem. Pakem merupakan suatu bentuk parameter yang bertujuan memberikan batasan dan dasar untuk kepentingan pembuatan film. Jadi film layar lebar yang diangkat dari cerita dari media lain tidak boleh melenceng dari pakemnya. Konsekuensinya film dapat berubah menjadi aneh, tidak logis jika ditilik dari setting ataupun jalan cerita.
Untuk mengatasinya tidak jarang sebuah film memberikan perbandingan ataupun gambaran bagi pemirsa terhadap perubahan pakem yang terjadi. Contoh hal itu seperti percakapan Wolverine dengan Cyclop, yang menanyakan kenapa dia harus memakai pakaian ketat serba hitam yang dijawab Cyclop, ”apakah kamu mau yang kuning?”. Gambaran terbaru adalah pada film Transformer, yang di versi aslinya Bumblebee merupakan sebuah VW Beetle kuning kemudian di film terbaru diganti dengan Ford Camaro warna kuning. Keduanya kebetulan dalam posisi sejajar di sebuah showroom mobil bekas, Ketika sang jagoan Sam Withwiky akan dibelikan mobil dan disarankan membeli VW (ver. Original), tapi urung karena keburu dirusak oleh Bumblebee (Camaro) sang autobot.
Selasa, Agustus 7
Maafkan - Cerpen lagi dari Arswendo W
(tao_ming_win@yahoo.com)
Suatu hari di sebuah toko buku….
“Eh, sorry”.
“Kurang ajar !. Kamu sengaja ya ! Mau curi – curi kesempatan ya !”.
“Enak aja. Siapa yang mau curi – curi kesempatan ?”.
“Buktinya kamu nyolek pantatku !”.
“Aku nggak nyolek. Aku mau ngambil buku itu tapi nggak sengaja kena pantatmu”.
“Alaaah alasan !. Muka seperti kamu emang muka – muka mesum”.
“Hei, jangan sembarangan ya kalo ngomong, tak sobek – sobek mulutmu nanti !!”.
“Emangnya kenapa, kamu mau pukul aku ?. Pukul kalo berani !. Udah nyolek masih mau mukul juga ?”.
“Dasar cerewet. Awas kamu… !”.
“E…e…e… ada apa ini, kok ribut – ribut ?”, seorang satpam datang.
“Dia nyolek pantat saya, pak satpam”.
“Bohong pak !. Saya nggak ada maksud, saya nggak sengaja”.
“Iya, tapi kan sama aja. Artinya tangan kamu sudah menyentuh pantatku !. Sama aja kan?”.
“Lain dong !. Saya kan nggak sengaja. Kalo disengaja, rasanya lebih nikmat. Kalo nggak disengaja, nggak kerasa apa – apa”, kata si pemuda
“Benar begitu anak muda ?”, tanya pak satpam kepada pemuda itu.
“Saya nggak bohong pak satpam. Coba deh bapak buktiin sendiri”.
Sesaat kemudian…
“Kok pak satpam ikut – ikutan nyolek pantat saya sih ?”.
“Eh… enggak… saya cuma mau buktiin, bener nggak omongan pemuda ini”.
“Gimana pak ?”, tanya si pemuda kemudian.
“Kamu betul anak muda. Rasanya memang lain”.
“Lho, bagaimana urusannya ini ?. Saya malah dua kali dicolek. Gimana sih ?”.
“Mbak, pemuda ini nggak salah, soalnya dia nggak sengaja, dan dia nggak merasakan nikmat apa – apa”.
“Berarti pak satpam dong yang salah ?”.
“O nggak bisa. Saya penegak hukum di sini. Saya nggak bisa disalahkan. Justru tugas saya mencari siapa yang salah untuk selanjutnya dihukum”.
“Tapi pak satpam tadi udah nyolek pantat saya”.
“Itu hanyalah cara saya untuk mencari pembuktian. Itu bukan kesalahan”.
“Terus gimana dong ?”.
“Begini saja. Kalian berdua berdamai saja. Mbak balas saja nyolek pantat mas ini”.
“Ah nggak mau. Pantatnya tepos”.
“Enak aja main balas. Aku nggak mau dicolek sama perempuan ini !”.
“Terus gimana dong ?”.
“Ask the audience1). Kita tanya pengunjung toko buku ini yang sedari tadi sudah melihat ribut – ribut ini. Gimana bapak – bapak, ibu – ibu?”.
“Setujuuu !”.
“Colek !”.
“Cium !”.
“Jambak !”.
“Tampar !”.
“Masukin penjara !”.
“Telanjangin !”.
“Bilangin ke ibunya !”.
“Pelecehan !”.
“Hidup emansipasi !”.
“Merdeka !”.
“Sunat !”.
“Campur sari !”.
“Astaghfirullah !”.
“Pak, bukunya dibayar dulu !”.
“Aku ra melu – melu lho !”.
“Stooooooooooopppp !!!”.
Suasana hening…
“Kalian apa – apaan sih ?. Dimintain pendapat malah ribut sendiri – sendiri !”.
“Kita nggak bisa pake cara ini pak satpam”, kta si pemuda.
“Lalu ?”.
“Phone a friend2)”.
“Ok, boleh kita coba. Anak muda, kamu mau telpon siapa?”.
“Kakek saya”.
“Kenapa ?”.
“Dulu dia juga pernah mengalami masalah seperti ini”.
“Ok. Mbak, mau nelpon siapa ?”.
“Komnas HAM”.
“Kenapa ?”.
“Saya sudah dirugikan”.
“Ok. Kita mulai. Kamu duluan anak muda. Waktu kamu 60 detik dari… sekarang”.
Sesaat kemudian…
“Hallo eyang, saya lagi ada masalah nih. Saya nggak sengaja nyolek pantat cewek, dan sekarang dia marah sama saya. Gimana dong, saya mesti gimana nih. Padahal saya kan nggak sengaja“.
“Ceweknya seksi nggak ?”.
“Ya, lumayan sih”.
“Kamu tadi nyolek yang sebelah kiri atau kanan ?”.
“Kayaknya sebelah kiri deh”.
“Kalo gitu, sekarang colek aja yang sebelah kanan, beres kan?”.
“Aduh, eyang gimana sih, kok malah begitu ?. Ya udah deh, makasih banget eyang”.
“Cukup, waktu habis !. Sekarang giliran mbak. Silahkan mbak, waktu anda 60 detik dari… sekarang”.
Sesaat kemudian…
“Gimana mbak…?”.
“Aduh, tulalit, telponnya lagi rusak”.
“Kalo gitu kita ke pilihan yang terakhir. Fifty fifty3)”.
“Apa pilihannya pak satpam ?”.
“Anak muda, kamu harus mau dicolek sama mbak ini atau… kalo nggak mau, kamu mesti masuk penjara !”.
“Apa ?!. Aku nggak mau !. Enak banget dia nyolek pantatku”.
“Aku juga nggak mau nyolek pantat dia. Pantatnya tepos. Nggak adil dong. Lihat nih pantatku, semok kan ?”.
“Ya udah, terserah kalian. Pilihannya cuma itu”.
“Ok lah. Nih, silahkan”, pemuda itu menyodorkan pantatnya.Sesaat kemudian…
“Pak satpam lihat tuh, dia menikmati nyolek pantatku”.
“Alaaah, kamu juga menikmati dicolek sama dia. Naaah, beres kan. Sekarang salaman, masalah sudah selesai”.
“Cium… cium… cium… !”.
“Sosor !”.
“Peluk !”.
“Gendong !”.
“Pangku !”.
“Geret !”.
“Pulangnya anterin !”.
“Minum es teh !”.
“Campur sari !”.
“Aku melu… aku melu !”.
“Alhamdulillah !”.“Mulih… mulih, acarane wis bar !”.
Jumat, Agustus 3
Surf’s Up SBY
Hal seperti ini lumrah saja kalau terjadi kepada masyarakat umum, tetapi lain halnya jika kejadian ini menimpa presiden yang sebentar lagi menghadapi pemilu. Tentu kita masih ingat kejadian-kejadian yang mengiringi terpilihnya seorang presiden di Negara kita yang selalu bak cerita Bawang putih dengan bawang merah. Biasanya pihak yang tersakitilah yang menjadi pemenang, peristiwa Kudatuli yang akhirnya mengantarkan Megawati sebagai presiden demikian juga dipecatnya SBY dari kabinet akhirnya mendudukannya di kursi presiden.
Jadi bak seorang peselancar ulung yang menunggu datangnya ombak yang besar dan cocok untuk ditunggangi, presiden seakan memperoleh momen yang tepat pada isu kali ini. Jadi saran penulis kalau para pesaing SBY yang sama-sama berambisi menuju kursi presiden janganlah menyakiti, melontarkan hinaan atau malah tega memfitnah. Berbaik-baiklah, pasrah menanti (syukur-syukur) datangnya ombak isu, fitnah dan hinaan yang menerpa. Kalau saat itu tiba maka bersiaplah untuk, Surf’s Up !!